Hei, hei, ho! =D Kitsuneshi Rei kembali lagi! *dilemparin tomat*. Ternyata udah lama Kitsuneshi nggak nge-post cerita di blog <= penyakit malesnya kambuh *sweatdrop*

Yosh! Kitsuneshi mau nge-post lagi, nih! Kali ini judulnya 'Memories'. Kitsuneshi juga nggak tau kenapa dikasih judul 'Memories'. Mungkin waktu itu gara-gara Ookamine Ren ngasih liat Kitsuneshi videonya Hatsune Miku yang judulnya juga 'Memories'. Nah, karena waktu itu Kitsuneshi baru galau-galaunya gara-gara abis END ama pacar TT-TT plus lagunya tu nggambarin perasaan Kitsuneshi waktu itu, ya udah, deh, Kitsuneshi jadiin inspirasi buat cerita kali ini =D (kok malah curhat, yah? =.=q)

Well, buat yang mau baca, silahkan. Kalo mau ngasih kritik en saran, coment aja, yah! =D Hope U enjoy it! ^-^v

Kamis, 05 Juli 2012

MEMORIES

             Setiap kali aku memejamkan mataku, air mataku selalu menetes. Kenapa? Karena setiap aku memejamkan mataku, senyum hangat yang selalu kau tujukan padaku dulu terus saja terbayang dalam benakku. Apa yang salah? Entahlah. Mungkin aku tak bisa ucapkan selamat tinggal padamu dan kenangan-kenangan masa laluku bersamamu. Kau tahu, itu sangat menyakitkan. Sungguh, aku berharap... aku berharap kita bisa tertawa bersama lagi...



 
– MEMORIES –


            “Himeno!” seru pemuda berambut hitam lurus sebatas tengkuk sambil melambaikan tangan kearah gadis yang baru saja masuk ke kelas VII-A. Gadis itu menoleh kearah sumber suara. Begitu melihat siapa yang memanggilnya, mata coklat gadis berambut hitam tergerai sebatas pinggang itu berbinar-binar. Dengan langkah lebar, ia menghampiri pemuda itu.
          “Selamat pagi, Ojio!” sapanya begitu berdiri didepan pemuda itu.
          Pemuda yang dipanggil Ojio itu tersenyum. “Selamat pagi juga, Tuan Putri!”
          Gadis yang berdiri didepan Ojio––Himeno––merasakan pipinya panas. Ia yakin wajahnya memerah saat itu. Karenanya, ia menundukkan wajahnya.
          “Wah, pagi-pagi sudah pedekate, nih!” kata seorang gadis berambut coklat bersinar sebatas bahu sambil tersenyum jahil. Dia adalah Dania Chartella, teman sebangku Himeno Shitsuka.
          “Kau benar, Dania! Himeno sampai tak sempat menyapa sahabat-sahabatnya,” timpal pemuda berkacamata yang berdiri disamping Dania dengan tampang terluka, Harry Arthone.
          Himeno menghembuskan napas menyerah. “Baik, kalau itu mau kalian.” Ia mendengus, lalu melanjutkan, “Selamat pagi Dania, Harry!”
          “Nah, kenapa tidak begitu dari tadi?” kata Dania dan Harry kompak.
          Himeno hanya cuek melihat tingkah kedua anak itu.
          “Ngomong-ngomong, kau bisa meletakkan tas dan biolamu itu dulu,” kata Ojio sambil menunjuk tas selempang dan biola Himeno bergantian.
          Himeno mengangguk dan menuruti kata pemuda itu.
          “Hei, hari ini sensei akan memindah tempat duduk kita, ‘kan?” tanya Harry.
          “Benarkah?” Himeno balik bertanya. Keempat orang itu duduk mengelilingi meja Himeno dan Dania.
          “Kau amnesia, ya? Hari ini tanggal 11, tahu?” ujar Ojio sambil menjitak kepala Himeno yang duduk didepannya.
          “Hei, sejak kapan kau berani padaku? Jitakanmu itu sakit, tahu!” gerutu Himeno sambil mengernyit.
          “Sakit? Wah, ternyata nona ‘Rubah Galak’ bisa kesakitan rupanya,” ejek Ojio disusul dengan tawa lepas.
          “Kau mau aku membunuhmu, hah?!”
          “Bunuh saja kalau kau tega!”
          Dania dan Harry berpandangan, lalu tersenyum jahil. Mereka seolah sedang merencanakan sesuatu.
          “Wah, sepertinya aku dan Dania menjadi obat nyamuk disini,” ujar Harry sambil berdeham.
          Himeno dan Ojio menghentikan perdebatan mereka untuk sementara. Kedua anak itu memandang Harry dengan tatapan bingung.
          “’Obat nyamuk’ bagaimana maksudmu?” tanya Ojio dengan raut muka datar.
          Dania berdeham. “Sepertinya aku dan Harry mengganggu acara kalian.” Gadis itu memandang pemuda berkacamata yang duduk didepannya. “Harry, ayo kita pergi.”
          Harry mengangguk sambil menyunggingkan senyum jahil.
          Himeno hanya sweatdrop. “Bilang saja kalian mau berduaan,” gumamnya. Dania dan Harry hanya menjulurkan lidah kearahnya, lalu melangkah menuju keluar kelas.
          “Kita akan berganti teman sebangku hari ini,” kata Ojio tiba-tiba.
          Himeno menoleh. “Apa? Oh, iya. Memangnya kenapa?”
          Pemuda itu menatap Himeno sambil tersenyum. “Aku ingin sebangku denganmu.”
          Pipi Himeno kembali memanas. Ia kembali menundukkan kepalanya. Himeno tahu jika Ojio melihat wajahnya memerah, pemuda itu pasti akan mengejeknya.
          “Hei, kenapa diam?”
          “Tak apa,” jawab Himeno sambil menggeleng. “Oh, iya. Aku punya sesuatu untukmu.”
          “Apa?”
          Gadis itu tidak menjawab. Ia sibuk mencari sesuatu dalam tasnya. Setelah menemukan benda yang dicari, ia memberikannya pada Ojio.
          “Apa ini?” tanya Ojio sambil membolak-balikkan benda yang berada ditangannya. Benda itu seperti kartu tarot. Bingkainya berwarna merah pudar. Dalam bingkai itu terdapat hati berwarna merah jambu dengan sayap di kanan dan kirinya. Diatas hati itu terdapat sebuah mahkota berwarna emas menyala. Dibelakang kartu itu terdapat gambar bulan, bintang, dan matahari didalam sebuah lingkaran yang penuh dengan simbol-simbol rasi bintang.
          Himeno tersenyum. “Untukmu, Ojio Kazema.”
          “Kau membuatnya sendiri?”
          Gadis itu mengangguk. “Temanku yang mengajarkanku membuatnya lewat komputer.”
          Sekali lagi Ojio membolak-balikkan kartu itu. Setelah ia puas, ia menoleh kearah Himeno. “Terima kasih, Tuan Putri. Dan terima kasih untuk teman yang mengajarimu juga.”
          “Sama-sama,” balas Himeno. “Ngomong-ngomong, kenapa kau selalu memanggilku ‘Tuan Putri’?”
          “Bukankah ‘Hime’ berarti ‘Tuan Putri’, ya?”
          “Namamu juga berarti ‘Pangeran’, bukan?”
          “Tepat sekali!”
          Mereka berdua tertawa bersama. Itulah saat yang paling Himeno sukai. Melihat kekasihnya tersenyum atau tertawa seperti ini membuat hatinya tenang, seolah ia mampu berdiri sendiri hanya karena melihat senyum Ojio, karena Ojio adalah bagian penting dalam hidupnya.

 
– MEMORIES –



          “Baiklah. Sekarang, duduk ditempat masing-masing. Sensei akan mengatur tempat duduk kalian.”
          Semua murid kelas tersebut terdiam. Suasana kelas menjadi sunyi. Beberapa siswi berbisik-bisik membahas keinginannya untuk duduk dengan sahabat karib atau orang yang mereka sayangi, berbeda dengan Himeno. Ia lebih memilih duduk diam ditempat sambil membaca manga kesukaannya daripada berkasak-kusuk dengan Dania. Dania sendiri juga asyik memainkan rambutnya daripada memperhatikan sensei.
          Setelah mengatur 9 tempat duduk, sensei memanggil Ojio untuk berdiri dari tempat duduknya. Sensei mengedarkan pandangan sejenak, lalu terpaku pada bangku yang diduduki oleh Himeno dan Dania.
          “Untuk nona Chartella,” panggil sensei. “Silahkan berdiri.”
          Dania mengangguk, lalu menepuk pundak sahabatnya. “Aku duluan, ya!”
          Himeno yang sedang asyik membaca manga sontak menoleh. “Oh? Eh, iya!”
          Dania tersenyum dan berjalan kedepan kelas, bergabung dengan anak lain yang belum mendapat tempat duduk.
          Sensei menatap Ojio sambil tersenyum. “Nah, untuk Kazema, kau duduk disebelah nona Shitsuka.”
          Himeno mengangkat wajahnya. “Maaf?”
“Kazema akan duduk disebelahmu. Kau tak keberatan, ‘kan?” tanya sensei.
Terdengar suara tepukan tangan tunggal dari depan kelas. Diana. Gadis itu tampak sedang bertepuk tangan dengan gaya kekanakannya. Himeno menatapnya tajam. “Apa?”
Diana tersenyum menggoda. “Kau sebangku dengan pangeranmu, ‘kan? Bukankah ini sangat romantis?”
“Kau sendiri kenapa tak sebangku saja dengan Harry, hah?!”
“Sudah-sudah,” lerai sensei. “Nah, Kazema, cepat duduk di tempat yang sudah sensei tunjuk tadi.”
Himeno menghentikan kegiatannya untuk sementara. Debar jantungnya mulai meliar. Ia melirik Ojio yang sedang berjalan kearah bangkunya, lalu menundukkan kepala. Ia berusaha mengatur napasnya agar debar jantungnya normal, tapi sepertinya ia tak bisa.
“Hei!”
Himeno menoleh. Ternyata Ojio sudah duduk disampingnya. “Apa?”
“Wajahmu memerah, tuh!” goda Ojio sambil tersenyum mengejek.
“Kau mau merasakannya? Baru saja kuasah, lho!” tawar Himeno sambil memainkan kuku-kuku tajamnya.
“Oo... mau mencakar, ya? Ya sudah, aku pindah, ya!”
“Silahkan saja!”
Ojio menyikut pelan lengan Himeno. “Kau tidak merindukanku jika aku pindah tempat duduk?”
“Tidak!”
“Beneran, nih?”
“Iya!”
“Yakin?”
“Oh, diamlah!”


 
– MEMORIES –



“Masih 20 menit lagi, ya?” gumamnya sambil memandangi jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
“Kau juga disini, Himeno?” kata sebuah suara dari belakang sambil menepuk pundaknya.
Himeno terlonjak dan memutar badannya dengan cepat. Ia sudah memasang kuda-kuda andalannya. Sosok seperti siluet yang menepuk pundaknya tadi mulai terlihat jelas.
“Ojio? Sedang apa kau disini?”
Ojio mengacak-acak rambut Himeno yang tergerai. “Memangnya hanya kau yang ingin menyaksikan kembang api malam ini?”
“Hei, kau membuat rambutku berantakan, tahu!”
Ojio hanya tersenyum polos. “Kita ukir nama kita dipohon itu, yuk!” ajak pemuda itu sambil menunjuk pohon yang berdiri jauh diantara rimbunan pohon lainnya.
“Heh? Untuk apa?” tanya Himeno sambil merapikan rambutnya.
“Sudah, ikut saja,” ujar Ojio sambil menyeret Himeno kearah pohon yang dituju.

– MEMORIES –


“Bagaimana cara kita mengukirnya disini? Kita tidak bawa pisau.”
Ojio tersenyum sambil merogoh saku celana jeans-nya. “Siapa bilang kita tidak bawa?”
Alis Himeno terangkat. “Kau...”
“Untuk jaga-jaga kalau ada orang yang macam-macam.”
“Oh...” gadis itu mengangguk tanda mengerti. “Kau benar-benar mau mengukirnya disini?”
Ojio membalikkan badan sambil berkacak pinggang. “Kau meragukan wajah serius ini?” tanyanya sambil menunjuk wajahnya sendiri.
Himeno terkekeh. “Tidak, Kazema Ojio-sama.”
“Bagus. Sekarang bantu aku mengukirnya.”


 
– MEMORIES –



“Bagaimana menurutmu?”
“Bagus,” aku Himeno. “Tapi tulisan itu tak akan bertahan lama, ‘kan?”
“Kata siapa?” tanya Ojio.
Himeno hanya mengangkat bahu. Ojio yang melihatnya hanya sweatdrop. Pemuda itu melihat jam tangan abu-abu yang melingkar di tangan kirinya dan tersenyum.
“Delapan, tujuh, enam...”
Himeno mengerutkat kening. “Ada apa?”
Ojio tak menggubris kebingungan kekasihnya. Ia terus melanjutkan hitungannya. “Tiga, dua, satu!”
Tepat setelah Ojio menyelesaikan hitungan. Pesta kembang api dimulai. Beberapa jenis kembang api seperti Dahlia, Chrysanthemum, dan Palem bergantian menghias langit malam yang sepi tanpa bintang. Himeno tercengang saat melihat langit menjadi ramai seketika. Matanya menjelajah angkasa, dan dari arah utara, ia menangkap komet berekor yang terjun bebas.
“Ojio, lihat!” serunya sambil menunjuk kearah komet itu.
“Baru kali ini aku melihat komet secara langsung,” kata Ojio takjub. “Apa permintaanmu?”
“Aku ingin...” Himeno mengetuk dahinya dengan telunjuk seolah berpikir. “Ah! Aku ingin orang-orang yang aku sayangi bahagia! Kalau Ojio?”
Ojio memandang komet itu sambil tersenyum. “Aku ingin selalu disisi Himeno.”
Pipi Himeno kembali panas. Ia menundukkan wajahnya.
Ojio mengulurkan tangannya. “Ayo kita kembali.”
Gadis itu menyambut uluran tangan kekasihnya. “Ayo!”


– MEMORIES –


“Sendirian, Ojio?”
Pemuda itu menoleh. “Oh, kau, Himeno.”
“Kau punya masalah?”
“Oh, tidak,” kata Ojio. “Aku ingin bicara denganmu.”
Dada Himeno sesak tiba-tiba. Firasatnya buruk kali ini. Ia menggosok-gosokkan kedua tangannya yang mulai dingin.
“Aku tahu perasaanmu, tapi kurasa...” Ojio menarik napas, “... kita tak bisa bersama lagi.”
Himeno menahan napasnya. Matanya panas dan sosok Ojio terhalang oleh air mata yang mulai terbit. Ia mengedipkan matanya berkali-kali agar air matanya tidak tumpah.
“Maafkan aku, Himeno.”
Himeno mendengar isakan yang ternyata berasal dari dirinya sendiri. Ia menghapus air matanya yang terlanjur mengalir di pipinya. Himeno menarik napas agar ia tidak pingsan ditempatnya berdiri tetapi ia malah merasakan nyeri di dadanya. Astaga, apakah bernapas harus semenyakitkan ini?
“Kalau keputusan itu memang yang terbaik...” Himeno kembali menghapus air matanya, “... asalkan Ojio bahagia... aku... bisa menerimanya...”



– MEMORIES –


 Setahun berlalu setelah peristiwa itu, tapi aku tak lekas melepas kenanganku bersamamu. Aku masih sering mengunjungi tempat kita mengukir nama kita dulu, sendirian. Berjalan sendirian benar-benar menyakitkan. Tak ada lagi langkah kaki yang berjalan beriringan denganku ke tempat ini. Saat aku menyentuh ukiran itu, aku benar-benar lupa akan kehangatan tanganmu yang membantuku mengukir nama kita. Tapi aku tidak akan lupa. Dimanapun aku berada, siapapun aku, apapun yang kulakukan, aku tak akan melupakanmu dan kenangan yang kita lalui bersama. Walaupun kaki-kakimu tak lagi mengiringiku, walaupun aku tak bisa lagi memutar-balikkan waktu, tapi perasaan kita bersatu dalam ukiran nama itu. Aku ingin... suatu hari nanti... melihatmu didepanku dengan senyum hangatmu, dan tertawa bersamamu lagi...

Cinta itu berarti bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia sekalipun itu pahit bagi kita, dan walaupun orang yang kita sayangi pergi, percayalah ada cinta lain yang akan datang untukmu.
– Conna Marie Michaela Lucifen a.k.a Kitsuneshi Rei –





©2012