Setiap kali aku memejamkan mataku, air mataku
selalu menetes. Kenapa? Karena setiap aku memejamkan mataku, senyum hangat yang
selalu kau tujukan padaku dulu terus saja terbayang dalam benakku. Apa yang
salah? Entahlah. Mungkin aku tak bisa ucapkan selamat tinggal padamu dan
kenangan-kenangan masa laluku bersamamu. Kau tahu, itu sangat menyakitkan.
Sungguh, aku berharap... aku berharap kita bisa tertawa bersama lagi...
“Himeno!” seru pemuda berambut hitam lurus
sebatas tengkuk sambil melambaikan tangan kearah gadis yang baru saja masuk ke
kelas VII-A. Gadis itu menoleh kearah sumber suara. Begitu melihat siapa yang
memanggilnya, mata coklat gadis berambut hitam tergerai sebatas pinggang itu
berbinar-binar. Dengan langkah lebar, ia menghampiri pemuda itu.
“Selamat pagi, Ojio!” sapanya begitu berdiri didepan pemuda
itu.
Pemuda yang dipanggil Ojio itu tersenyum. “Selamat pagi
juga, Tuan Putri!”
Gadis yang berdiri didepan Ojio––Himeno––merasakan pipinya
panas. Ia yakin wajahnya memerah saat itu. Karenanya, ia menundukkan wajahnya.
“Wah, pagi-pagi sudah pedekate, nih!” kata seorang gadis
berambut coklat bersinar sebatas bahu sambil tersenyum jahil. Dia adalah Dania
Chartella, teman sebangku Himeno Shitsuka.
“Kau benar, Dania! Himeno sampai tak sempat menyapa
sahabat-sahabatnya,” timpal pemuda berkacamata yang berdiri disamping Dania
dengan tampang terluka, Harry Arthone.
Himeno menghembuskan napas menyerah. “Baik, kalau itu mau
kalian.” Ia mendengus, lalu melanjutkan, “Selamat pagi Dania, Harry!”
“Nah, kenapa tidak begitu dari tadi?” kata Dania dan Harry
kompak.
Himeno hanya cuek melihat tingkah kedua anak itu.
“Ngomong-ngomong, kau bisa meletakkan tas dan biolamu itu
dulu,” kata Ojio sambil menunjuk tas selempang dan biola Himeno bergantian.
Himeno mengangguk dan menuruti kata pemuda itu.
“Hei, hari ini sensei
akan memindah tempat duduk kita, ‘kan?” tanya Harry.
“Benarkah?” Himeno balik bertanya. Keempat orang itu duduk
mengelilingi meja Himeno dan Dania.
“Kau amnesia, ya? Hari ini tanggal 11, tahu?” ujar Ojio
sambil menjitak kepala Himeno yang duduk didepannya.
“Hei, sejak kapan kau berani padaku? Jitakanmu itu sakit,
tahu!” gerutu Himeno sambil mengernyit.
“Sakit? Wah, ternyata nona ‘Rubah Galak’ bisa kesakitan
rupanya,” ejek Ojio disusul dengan tawa lepas.
“Kau mau aku membunuhmu, hah?!”
“Bunuh saja kalau kau tega!”
Dania dan Harry berpandangan, lalu tersenyum jahil. Mereka
seolah sedang merencanakan sesuatu.
“Wah, sepertinya aku dan Dania menjadi obat nyamuk disini,”
ujar Harry sambil berdeham.
Himeno dan Ojio menghentikan perdebatan mereka untuk
sementara. Kedua anak itu memandang Harry dengan tatapan bingung.
“’Obat nyamuk’ bagaimana maksudmu?” tanya Ojio dengan raut
muka datar.
Dania berdeham. “Sepertinya aku dan Harry mengganggu acara
kalian.” Gadis itu memandang pemuda berkacamata yang duduk didepannya. “Harry,
ayo kita pergi.”
Harry mengangguk sambil menyunggingkan senyum jahil.
Himeno hanya sweatdrop.
“Bilang saja kalian mau berduaan,” gumamnya. Dania dan Harry hanya menjulurkan
lidah kearahnya, lalu melangkah menuju keluar kelas.
“Kita akan berganti teman sebangku hari ini,” kata Ojio
tiba-tiba.
Himeno menoleh. “Apa? Oh, iya. Memangnya kenapa?”
Pemuda itu menatap Himeno sambil tersenyum. “Aku ingin
sebangku denganmu.”
Pipi Himeno kembali memanas. Ia kembali menundukkan
kepalanya. Himeno tahu jika Ojio melihat wajahnya memerah, pemuda itu pasti
akan mengejeknya.
“Hei, kenapa diam?”
“Tak apa,” jawab Himeno sambil menggeleng. “Oh, iya. Aku
punya sesuatu untukmu.”
“Apa?”
Gadis itu tidak menjawab. Ia sibuk mencari sesuatu dalam
tasnya. Setelah menemukan benda yang dicari, ia memberikannya pada Ojio.
“Apa ini?” tanya Ojio sambil membolak-balikkan benda yang
berada ditangannya. Benda itu seperti kartu tarot. Bingkainya berwarna merah
pudar. Dalam bingkai itu terdapat hati berwarna merah jambu dengan sayap di
kanan dan kirinya. Diatas hati itu terdapat sebuah mahkota berwarna emas
menyala. Dibelakang kartu itu terdapat gambar bulan, bintang, dan matahari
didalam sebuah lingkaran yang penuh dengan simbol-simbol rasi bintang.
Himeno tersenyum. “Untukmu, Ojio Kazema.”
“Kau membuatnya sendiri?”
Gadis itu mengangguk. “Temanku yang mengajarkanku
membuatnya lewat komputer.”
Sekali lagi Ojio membolak-balikkan kartu itu. Setelah ia
puas, ia menoleh kearah Himeno. “Terima kasih, Tuan Putri. Dan terima kasih
untuk teman yang mengajarimu juga.”
“Sama-sama,” balas Himeno. “Ngomong-ngomong, kenapa kau
selalu memanggilku ‘Tuan Putri’?”
“Bukankah ‘Hime’ berarti ‘Tuan Putri’, ya?”
“Namamu juga berarti ‘Pangeran’, bukan?”
“Tepat sekali!”
Mereka berdua tertawa bersama. Itulah saat yang paling
Himeno sukai. Melihat kekasihnya tersenyum atau tertawa seperti ini membuat
hatinya tenang, seolah ia mampu berdiri sendiri hanya karena melihat senyum Ojio,
karena Ojio adalah bagian penting dalam hidupnya.
“Baiklah.
Sekarang, duduk ditempat masing-masing. Sensei
akan mengatur tempat duduk kalian.”
Semua murid kelas tersebut terdiam. Suasana kelas menjadi
sunyi. Beberapa siswi berbisik-bisik membahas keinginannya untuk duduk dengan
sahabat karib atau orang yang mereka sayangi, berbeda dengan Himeno. Ia lebih
memilih duduk diam ditempat sambil membaca manga
kesukaannya daripada berkasak-kusuk dengan Dania. Dania sendiri juga asyik
memainkan rambutnya daripada memperhatikan sensei.
Setelah mengatur 9 tempat duduk, sensei memanggil Ojio untuk berdiri dari tempat duduknya. Sensei mengedarkan pandangan sejenak,
lalu terpaku pada bangku yang diduduki oleh Himeno dan Dania.
“Untuk nona Chartella,” panggil sensei. “Silahkan berdiri.”
Dania mengangguk, lalu menepuk pundak sahabatnya. “Aku
duluan, ya!”
Himeno yang sedang asyik membaca manga sontak menoleh. “Oh? Eh, iya!”
Dania tersenyum dan berjalan kedepan kelas, bergabung
dengan anak lain yang belum mendapat tempat duduk.
Sensei menatap
Ojio sambil tersenyum. “Nah, untuk Kazema, kau duduk disebelah nona Shitsuka.”
Himeno mengangkat wajahnya. “Maaf?”
“Kazema
akan duduk disebelahmu. Kau tak keberatan, ‘kan?” tanya sensei.
Terdengar
suara tepukan tangan tunggal dari depan kelas. Diana. Gadis itu tampak sedang
bertepuk tangan dengan gaya kekanakannya. Himeno menatapnya tajam. “Apa?”
Diana
tersenyum menggoda. “Kau sebangku dengan pangeranmu, ‘kan? Bukankah ini sangat
romantis?”
“Kau
sendiri kenapa tak sebangku saja dengan Harry, hah?!”
“Sudah-sudah,”
lerai sensei. “Nah, Kazema, cepat
duduk di tempat yang sudah sensei tunjuk
tadi.”
Himeno
menghentikan kegiatannya untuk sementara. Debar jantungnya mulai meliar. Ia
melirik Ojio yang sedang berjalan kearah bangkunya, lalu menundukkan kepala. Ia
berusaha mengatur napasnya agar debar jantungnya normal, tapi sepertinya ia tak
bisa.
“Hei!”
Himeno
menoleh. Ternyata Ojio sudah duduk disampingnya. “Apa?”
“Wajahmu
memerah, tuh!” goda Ojio sambil tersenyum mengejek.
“Kau mau
merasakannya? Baru saja kuasah, lho!” tawar Himeno sambil memainkan kuku-kuku
tajamnya.
“Oo... mau
mencakar, ya? Ya sudah, aku pindah, ya!”
“Silahkan
saja!”
Ojio
menyikut pelan lengan Himeno. “Kau tidak merindukanku jika aku pindah tempat
duduk?”
“Tidak!”
“Beneran,
nih?”
“Iya!”
“Yakin?”
“Oh,
diamlah!”
“Masih 20
menit lagi, ya?” gumamnya sambil memandangi jam tangan putih yang melingkar di
pergelangan tangan kirinya.
“Kau juga
disini, Himeno?” kata sebuah suara dari belakang sambil menepuk pundaknya.
Himeno
terlonjak dan memutar badannya dengan cepat. Ia sudah memasang kuda-kuda
andalannya. Sosok seperti siluet yang menepuk pundaknya tadi mulai terlihat
jelas.
“Ojio?
Sedang apa kau disini?”
Ojio
mengacak-acak rambut Himeno yang tergerai. “Memangnya hanya kau yang ingin
menyaksikan kembang api malam ini?”
“Hei, kau
membuat rambutku berantakan, tahu!”
Ojio hanya
tersenyum polos. “Kita ukir nama kita dipohon itu, yuk!” ajak pemuda itu sambil
menunjuk pohon yang berdiri jauh diantara rimbunan pohon lainnya.
“Heh?
Untuk apa?” tanya Himeno sambil merapikan rambutnya.
“Sudah,
ikut saja,” ujar Ojio sambil menyeret Himeno kearah pohon yang dituju.
“Bagaimana
cara kita mengukirnya disini? Kita tidak bawa pisau.”
Ojio
tersenyum sambil merogoh saku celana jeans-nya.
“Siapa bilang kita tidak bawa?”
Alis
Himeno terangkat. “Kau...”
“Untuk
jaga-jaga kalau ada orang yang macam-macam.”
“Oh...”
gadis itu mengangguk tanda mengerti. “Kau benar-benar mau mengukirnya disini?”
Ojio
membalikkan badan sambil berkacak pinggang. “Kau meragukan wajah serius ini?”
tanyanya sambil menunjuk wajahnya sendiri.
Himeno
terkekeh. “Tidak, Kazema Ojio-sama.”
“Bagus.
Sekarang bantu aku mengukirnya.”
“Bagaimana
menurutmu?”
“Bagus,”
aku Himeno. “Tapi tulisan itu tak akan bertahan lama, ‘kan?”
“Kata
siapa?” tanya Ojio.
Himeno
hanya mengangkat bahu. Ojio yang melihatnya hanya sweatdrop. Pemuda itu melihat jam tangan abu-abu yang melingkar di
tangan kirinya dan tersenyum.
“Delapan,
tujuh, enam...”
Himeno
mengerutkat kening. “Ada apa?”
Ojio tak
menggubris kebingungan kekasihnya. Ia terus melanjutkan hitungannya. “Tiga,
dua, satu!”
Tepat
setelah Ojio menyelesaikan hitungan. Pesta kembang api dimulai. Beberapa jenis
kembang api seperti Dahlia, Chrysanthemum, dan Palem bergantian menghias langit
malam yang sepi tanpa bintang. Himeno tercengang saat melihat langit menjadi
ramai seketika. Matanya menjelajah angkasa, dan dari arah utara, ia menangkap
komet berekor yang terjun bebas.
“Ojio,
lihat!” serunya sambil menunjuk kearah komet itu.
“Baru kali
ini aku melihat komet secara langsung,” kata Ojio takjub. “Apa permintaanmu?”
“Aku
ingin...” Himeno mengetuk dahinya dengan telunjuk seolah berpikir. “Ah! Aku
ingin orang-orang yang aku sayangi bahagia! Kalau Ojio?”
Ojio
memandang komet itu sambil tersenyum. “Aku ingin selalu disisi Himeno.”
Pipi
Himeno kembali panas. Ia menundukkan wajahnya.
Ojio
mengulurkan tangannya. “Ayo kita kembali.”
Gadis itu
menyambut uluran tangan kekasihnya. “Ayo!”
“Sendirian,
Ojio?”
Pemuda itu
menoleh. “Oh, kau, Himeno.”
“Kau punya
masalah?”
“Oh,
tidak,” kata Ojio. “Aku ingin bicara denganmu.”
Dada
Himeno sesak tiba-tiba. Firasatnya buruk kali ini. Ia menggosok-gosokkan kedua
tangannya yang mulai dingin.
“Aku tahu
perasaanmu, tapi kurasa...” Ojio menarik napas, “... kita tak bisa bersama
lagi.”
Himeno
menahan napasnya. Matanya panas dan sosok Ojio terhalang oleh air mata yang
mulai terbit. Ia mengedipkan matanya berkali-kali agar air matanya tidak
tumpah.
“Maafkan
aku, Himeno.”
Himeno
mendengar isakan yang ternyata berasal dari dirinya sendiri. Ia menghapus air
matanya yang terlanjur mengalir di pipinya. Himeno menarik napas agar ia tidak
pingsan ditempatnya berdiri tetapi ia malah merasakan nyeri di dadanya. Astaga,
apakah bernapas harus semenyakitkan ini?
“Kalau keputusan itu
memang yang terbaik...” Himeno kembali menghapus air matanya, “... asalkan Ojio
bahagia... aku... bisa menerimanya...”
Setahun berlalu setelah peristiwa itu,
tapi aku tak lekas melepas kenanganku bersamamu. Aku masih sering mengunjungi
tempat kita mengukir nama kita dulu, sendirian. Berjalan sendirian benar-benar
menyakitkan. Tak ada lagi langkah kaki yang berjalan beriringan denganku ke
tempat ini. Saat aku menyentuh ukiran itu, aku benar-benar lupa akan kehangatan
tanganmu yang membantuku mengukir nama kita. Tapi aku tidak akan lupa.
Dimanapun aku berada, siapapun aku, apapun yang kulakukan, aku tak akan
melupakanmu dan kenangan yang kita lalui bersama. Walaupun kaki-kakimu tak lagi
mengiringiku, walaupun aku tak bisa lagi memutar-balikkan waktu, tapi perasaan
kita bersatu dalam ukiran nama itu. Aku ingin... suatu hari nanti... melihatmu
didepanku dengan senyum hangatmu, dan tertawa bersamamu lagi...
Cinta itu berarti
bahagia melihat orang yang kita cintai bahagia sekalipun itu pahit bagi kita,
dan walaupun orang yang kita sayangi pergi, percayalah ada cinta lain yang akan
datang untukmu.
– Conna Marie
Michaela Lucifen a.k.a Kitsuneshi Rei –
©2012